Arang Batok Pengganti Minyak Tanah


Langkanya minyak tanah dan adanya bahaya kebakaran yang ditimbulkan kompor gas, mendatangkan tugas baru bagi Dekan Fakultas Pertanian Universitas Ekasakti (UNES) Padang, Ir. I Ketut Budaraga, M.Si.


Pria keturunan Bali itu mencari bahan bakar alternatif. Dari serangkaian penelitian yang dia lakukan, diperoleh bahwa arang batok kelapa bisa menjadi pilihan masyarakat buat keperluan memasak. “Satu kilo arang batok bisa digunakan untuk memasak selama lima jam lebih. Lebih lama waktunya dibanding memasak dengan satu liter minyak tanah. Harga satu kilo arang batok  juga jauh lebih murah dibandingkan harga seliter minyak. Selain harganya sekitar Rp6.000 per liter, minyak tanah pun sukar didapat,” ujar Ketut kepada Singgalang, Minggu (29/7).


Karena ekonomis, Ketut mulai memasyarakatkan pemakaian kompor briket arang batok kelapa tersebut. Dia telah menguji coba produknya itu kepada masyarakat di sejumlah daerah. Beberapa waktu lalu, Ketut menggandeng Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat DP2M Dirjen Dikti Debdikbud dan lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LPPM) UNES.

Tim yang diketuai Ketut itu menyerahkan bantuan kepada kelompok petani lele sangkuriang terpadu dan kelompok tani Rambai Sakato, Kabupaten Padang Pariaman. Sebanyak 20 kompor briket arang batok diserahkan pada kedua kelompok itu.

Anggota kelompok petani lele terpadu dan kelompok tani Rambai Sakato diberi pula pelatihan manajemen usaha,  strategi pemasaran, usaha mencari nilai tambah. Mereka juga dilatih membuat briket arang batok kelapa.

Menurut Ketut, pelatihan diberikan agar petani bisa mengelola usahanya lebih baik dan merasakan keuntungan penggunaan kompor briket arang batok.

Ketut menjamin produknya lebih ekonomis dan asap pembakaran batok bisa pula dijadikan bahan anti jamur, bahan pengawet makanan dan pembeku latek pada karet. Asap ditampung dan diolah sehingga berbentuk cairan. Ketut menamakannya asap cair. “Asap cair inilah produk sampingan yang multiguna, bermanfat bagi pengembangan pertanian organik,” kata Ketut bangga.

Meski lebih ekonomis, masyarakat masih belum mau serta-merta beralih ke kompor briket arang batok. Sejumlah RT di Jakarta pernah meminta kompor briket buatan Ketut, namun mereka minta jaminan pasokan briket. Hal inilah yang belum bisa dipenuhi Ketut.

Selain itu, lamanya waktu pancingan agar kompor menyala, membuat masyarakat masih memilih kompor minyak tanah. “Moga dalam perkembangan selanjutnya saya bisa menjadikan arang batok sebagai pilihan pertama kaum ibu. Karena kompor ini ramah lingkungan dan tidak beresiko meledak. Kelompok masyarakat terberdayakan pula,” kata Ketut. (arang batok)

Tidak ada komentar